smail-Ismail' Jaman Ini…Oleh Muhaimin Iqbal Minggu, 06 November 2011
03:57
(satu lagi kisah2 inspiratif yg mampu membuat saya menitikan air mata di
pagi ini)
Di tengah konflik perang saudara Somalia, seorang ibu muda yang trauma
karena suaminya menjadi korban keganasan perang memutuskan untuk
mengungsi dari negerinya dan membawa serta tiga orang putranya. Ibu muda
yang cukup terpelajar dan mampu dengan baik berbahasa Inggris ini
akhirnya dapat tinggal dan bekerja sebagai pekerja rumah tangga di
Inggris. Ketika si sulung – panggil saja Karim - sudah mulai beranjak
dewasa, dia ingin meringankan beban berat yang ditanggung ibunya dengan
cara bekerja sebagai tukar semir sepatu di sebuah stasiun kereta bawah
tanah di pusat kota London.
Setiap hari dia menyerahkan seluruh penghasilannya ke ibunya untuk
dikelola bareng, sehingga mereka semua bisa survive di kota yang
terkenal mahalnya biaya hidup tersebut. Penghasilan mereka selalu habis
untuk kebutuhan makan, menyewa flat sederhana dan membeli baju hangat
agar tidak kedinginan di musim dingin.
Suatu hari Karim ingin mencoba sesekali makan enak di restoran yang
hampir setiap hari dilaluinya ketika berangkat bekerja. Maka sepulang
kerja, lengkap dengan tas kotak semir sepatunya – dia masuk restoran
yang selama ini hanya bisa dia bayangkan rasa masakannya. Cilakanya di
restoran-restoran Inggris, di buku menu tidak selalu mencantumkan harga
makanannya. Ini karena sebagian orang Inggris – yang terkenal
aristocrat-nya memandang tidak sopan untuk memilih menu berdasarkan
harganya, ini dianggap bisa menyinggung tamunya.
Ketika Karim melihat menu tersebut – karena duitnya yang pas-pasan –
yang pertama dia lakukan justru menanyakan harganya kepada pelayan
restoran yang menghampirinya. Dilihatnya menu sirloin steak dengan
gambar yang lezat, kemudian bertanya kepada pelayan, "yang ini berapa
harganya ?". Pelayan menjawab "yang ukuran medium, harganya 35 Pounds".
Terkejut bukan kepalang si Karim ini karena penghasilannya setiap hari
jarang mencapai 35 Pounds (sekitar Rp 500,000 sekarang !), dia mengambil
seluruh uang koin penghasilan hari itu dari kantongnya dan mengeluarkan
di meja kemudian menghitungnya. Sementara dia menghitung, si pelayan
menungguinya dengan tidak sabar. Selesai menghitung, dia bertanya
kembali ke si pelayan, "kalau yang small size, berapa harganya ?". Si
pelayan menjawab dengan ketus dan dengan nada merendahkan "yang small
size masih juga mahal, 25 Pounds". Meskipun masih sangat mahal untuk
ukuran Karim, dia malu untuk tidak jadi
makan di restoran tersebut, akhirnya dia bilang "baik, saya pesan yang
itu ! "
Selesai makan, Karim membayarnya dan pulang. Ketika pelayan mau
membersihkan mejanya, dia kaget sekali ternyata Karim meninggalkan tip
sebesar 10 Pounds untuk si pelayan – jumlah tips yang jarang diberikan
oleh tamu-tamu dia yang parlente sekalipun. Si pelayan sampai menangis
haru dan merasa sangat bersalah karena telah men-judge orang berdasarkan
tampilannya. Tidak habis pikir pula bagi si pelayan ini, bagaimana
tamunya yang kumal tadi rela untuk tidak jadi memesan makanan yang
diinginkannya padahal uangnya sebenarnya cukup, dan menggantinya dengan
ukuran yang lebih kecil hanya supaya dia bisa menyisihkan tip yang baik
untuk dia yang melayaninya.
Ternyata bukan sekali ini saja perilaku Karim mengejutkan logika orang
Inggris yang sok paling beradab itu. Suatu hari ibunya sakit dan
memerlukan transfusi darah, dan tentu saja tidak mudah mencari darah
yang cocok untuk Ibu Karim yang berasal dari Somalia di Inggris. Harapan
satu-satunya adalah dari darah anak-anaknya, tetapi adik-adik Karim
masih kecil - jadi harapannya tinggal darah dari Karim.
Dokter yang menanganinya kemudian mengajak bicara Karim bahwa ibunya
perlu darah dan darah Karim-lah yang bisa menolongnya. Tanpa berpikir
panjang Karim-pun langsung mau darahnya diambil untuk ibunya. Setelah
ditidurkan disamping ibunya untuk mulai diambil darahnya, Karim
memandangi wajah ibunya yang pucat pasi sambil tersenyum bangga,
setengah berbisik dia menyampaikan ke ibunya "Umi akan tetap hidup untuk
adik-adik". Ibunya-pun menjawab lirih sambil meneteskan air mata "Umi
sangat bangga kepadamu nak…".
Setelah itu Karim memandangi wajah dokter yang akan mulai mengambil
darahnya, dia kemudian berkata "Apakah sudah waktunya saya akan segera
mati dokter ?". Dokternya kaget dengan pertanyaan ini, kemudian balik
bertanya : "Apa maksudmu dengan segera mati ?". Karim berusaha
menjelaskan : "Bukankah ketika dokter minta darah saya untuk diberikan
ke ibu saya dokter akan mengambil seluruh darah saya untuk diberikan ke
ibu, sehingga ibu saya bisa diselamatkan hidupnya dengan itu, dan saya
akan mati sesudah itu?." Dokter sangat terkejut dengan jawaban ini, dia
kemudian memberondong Karim dengan pertanyaan-pertanyaan "jadi kamu tadi
mengira bahwa darah kamu yang akan diambil adalah seluruhnya ?, kalau
itu tadi yang kamu pikirkan, mengapa kamu langsung mau menyerahkan
seluruh darahmu untuk ibumu ?".
Dengan lugunya Karim-pun menjawab : "betul dokter, aku tadi kira begitu –
dan tentu aku mau menyerahkan seluruh darahku bila itu yang ibuku
perlukan untuk bertahan hidup". Masih nggak habis pikir, dokter-pun
berusaha memahami logika Karim : "Bukankah hidupmu lebih penting dari
ibumu, kalau toh harus memilih ? engkau masih muda, engkau memiliki
harapan masa depan ? ". Diluar dugaan dokter, Karim-pun menjawab dengan
tenang : " Ibuku punya tiga anak, kalau aku mati – ibuku masih mempunyai
dua anak yang akan menghiburnya. Sedangkan kami bertiga hanya mempunyai
satu ibu, kalu ibu kami mati – siapa lagi yang bisa menghibur kami ?".
Dokter wanita yang menangani Karim dan ibunya ini akhirnya kehabisan
kata-kata. Dengan mata yang berkaca-kaca dia berusaha memahami
pengorbanan seorang anak yang rela kalau toh harus mati menyerahkan
seluruh darahnya untuk menyelamatkan ibunya ini.
Karim adalah representasi `Ismail-Ismail' jaman ini yang rela
menyisihkan penghasilannya untuk orang lain, rela berkorban maksimal
untuk orang yang dicintainya.
Barangkali bukan hanya Karim `Ismail-Ismail' jaman ini, bisa juga ada di
sekitar kita atau bahkan ada pada diri kita. Bila kita rela berkorban
untuk orang lain, bila kita rela menyisihkan seberapapun gaji kita –
sebagiannya ditabung untuk bisa ber-qurban setiap tahunnya – agar orang
lain bisa ikut merasakan jerih payah kita. Bila kita rela mengorbankan
kesenangan liburan kita untuk menghibur Ibu yang selalu merindukan
kunjungan kita, bila kita rela bangun di malam yang dingin untuk selalu
bisa mendoakannya…
Bukan hanya Karim, InsyaAllah kita semua-pun bisa menjadi `Ismail-Ismail
` jaman ini, bila kita rela mengutamakan orang lain walau diri kita
sendiri dalam kesusahan… !.
Salam..
Punya Motor Trail? Inilah 5 Ban dari Dunlop yang Direkomendasikan
1 minggu yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar